
TREND

Tambang Emas Di TN Meru Betiri Merusak Kualitas Air
Tambang Emas Di TN Meru Betiri Merusak Kualitas Air

Tambang Emas Di TN Meru Betiri Merusak Kualitas Air Sehingga Memberikan Dampak Langsung Terhadap Lingkungan Lindung. Saat ini Tambang Emas ilegal di Taman Nasional Meru Betiri telah merusak kualitas air secara signifikan. Aktivitas penambangan dilakukan tanpa memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan. Para penambang biasanya menggunakan cara manual seperti menggali tanah dengan alat sederhana, mencuci pasir dengan air sungai, dan dalam beberapa kasus memakai bahan kimia berbahaya seperti merkuri untuk memisahkan emas dari material lainnya. Air limbah dari proses ini langsung dibuang ke sungai, menyebabkan pencemaran serius. Air yang sebelumnya jernih berubah menjadi keruh, berlumpur, dan mengandung zat berbahaya yang mengancam kehidupan biota air.
Kerusakan ini tidak hanya berdampak pada air, tetapi juga pada tanah dan ekosistem sekitarnya. Sungai yang tercemar menjadi tidak layak lagi untuk digunakan, baik oleh satwa liar maupun oleh masyarakat desa yang sebelumnya bergantung pada sumber air tersebut untuk kebutuhan harian dan pertanian. Merkuri dan zat logam berat lainnya yang masuk ke sungai dapat terakumulasi di tubuh ikan dan organisme air lainnya. Jika terus dibiarkan, zat ini akan masuk ke rantai makanan dan membahayakan satwa dilindungi serta manusia.
Kegiatan penambangan juga mempercepat erosi. Hutan yang sebelumnya menjadi penahan air dan pelindung tanah dibuka paksa untuk akses tambang. Ini membuat air hujan langsung mengalir ke sungai, membawa lumpur, pasir, dan limbah tambang. Aliran sungai menjadi dangkal dan tersumbat, menyebabkan banjir saat hujan deras. Selain itu, perubahan alur air mengganggu habitat alami hewan-hewan seperti owa jawa, macan tutul, dan berbagai jenis burung endemik yang hidup di sekitar sungai.
Tambang Emas Ilegal Menjadi Penyebab Krisis Air Bersih
Tambang Emas Ilegal Menjadi Penyebab Krisis Air Bersih di kawasan tersebut. Aktivitas penambangan yang merusak lingkungan secara langsung mempengaruhi sumber air yang sebelumnya dimanfaatkan oleh satwa liar dan masyarakat sekitar. Para penambang menggali tanah di sekitar aliran sungai, mencuci material tambang langsung di sungai, dan membuang limbahnya tanpa pengolahan. Hal ini menyebabkan air sungai yang semula jernih berubah menjadi keruh, berlumpur, dan mengandung bahan kimia berbahaya. Masyarakat desa yang tinggal di sekitar taman nasional, yang selama ini menggantungkan hidup pada sungai dan mata air alami, kini kesulitan mendapatkan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari.
Krisis ini makin parah karena beberapa titik mata air alami yang mengalir dari kawasan hutan rusak akibat pembukaan lahan tambang. Penebangan pohon dan penggalian tanah menghilangkan penutup alami yang menjaga kelembapan dan fungsi resapan air. Tanah menjadi keras dan tidak mampu lagi menahan air hujan, sehingga air langsung mengalir ke sungai tanpa sempat meresap ke dalam tanah. Akibatnya, debit air turun drastis di musim kemarau, dan ketika musim hujan datang, aliran air menjadi deras dan membawa lumpur serta limbah tambang ke hilir.
Selain pencemaran fisik, penggunaan merkuri dalam proses pemisahan emas juga memperburuk situasi. Merkuri yang terlarut dalam air sangat sulit dihilangkan dan dapat mencemari mata air yang jaraknya cukup jauh dari lokasi tambang. Dampaknya bukan hanya mengancam kualitas air, tetapi juga kesehatan manusia dan hewan yang mengonsumsi air atau ikan dari sungai tersebut. Paparan jangka panjang terhadap merkuri bisa menyebabkan gangguan saraf dan kerusakan organ vital.
Dampaknya Terhadap Kehidupan Sekitar
Dampaknya Terhadap Kehidupan Sekitar sangat luas dan menyentuh banyak aspek, mulai dari lingkungan, sosial, hingga ekonomi masyarakat. Aktivitas tambang yang mencemari sungai dan merusak hutan secara langsung membuat masyarakat desa yang tinggal di sekitar kawasan konservasi mengalami krisis air bersih. Sungai yang selama ini menjadi sumber utama kebutuhan air rumah tangga, pertanian, dan peternakan kini tercemar lumpur, merkuri, dan limbah tambang lainnya. Warga yang sebelumnya mencuci, mandi, dan mengambil air minum dari sungai terpaksa mencari alternatif lain yang lebih jauh dan belum tentu layak konsumsi.
Di sektor pertanian, pencemaran air berdampak pada irigasi lahan. Tanaman menjadi layu, hasil panen menurun, dan tanah menjadi keras karena aliran air yang membawa lumpur memperburuk struktur tanah. Petani mengalami kerugian karena kesulitan menjaga produktivitas lahan, terlebih saat musim kemarau. Sementara itu, peternak juga kesulitan menyediakan air bersih untuk ternak mereka. Ini berdampak pada kesehatan hewan dan menurunkan nilai jual.
Kesehatan masyarakat juga ikut terdampak. Air yang tercemar logam berat seperti merkuri bisa menyebabkan penyakit kulit, gangguan pencernaan, dan efek jangka panjang seperti gangguan saraf. Anak-anak dan lansia menjadi kelompok paling rentan. Biota sungai seperti ikan air tawar, udang, dan kerang juga menurun jumlahnya atau bahkan mati, sehingga warga kehilangan sumber protein alami dan mata pencaharian dari hasil tangkapan sungai.
Secara sosial, muncul konflik antara warga yang mendukung pelestarian lingkungan dan mereka yang terlibat dalam penambangan. Ketegangan ini mengganggu keharmonisan desa, apalagi jika kegiatan tambang di lakukan secara sembunyi-sembunyi oleh oknum dari dalam atau luar desa. Selain itu, kerusakan ekosistem juga berdampak pada satwa liar yang mulai keluar hutan dan mendekati permukiman karena habitat mereka terganggu, meningkatkan risiko konflik manusia dengan hewan.
Reaksi Publik
Reaksi Publik terhadap keberadaan tambang emas ilegal di Taman Nasional Meru Betiri sangat kuat dan di penuhi keprihatinan. Banyak pihak, mulai dari masyarakat lokal, aktivis lingkungan, akademisi, hingga pengguna media sosial, menyuarakan keresahan atas kerusakan alam yang semakin parah. Warga desa yang hidup berdampingan dengan hutan dan sungai menyaksikan langsung bagaimana air menjadi keruh, mata air mengering, dan hewan-hewan hutan tak lagi muncul seperti dulu. Mereka merasa kehilangan, tidak hanya secara ekonomi, tetapi juga secara budaya karena alam yang selama ini mereka rawat rusak dalam waktu singkat. Suara-suara itu pun berkembang menjadi tuntutan agar pemerintah bertindak lebih tegas terhadap para pelaku tambang liar.
Desakan penegakan hukum datang dari berbagai arah. Lembaga swadaya masyarakat lingkungan menyerukan pentingnya pengawasan ketat di kawasan konservasi. Mereka menilai bahwa pelaku tambang emas ilegal tidak bisa hanya di tindak secara administratif, tetapi harus di proses secara pidana karena telah merusak kawasan yang di lindungi negara. Banyak kalangan menyoroti lemahnya pengawasan di kawasan taman nasional yang seharusnya steril dari aktivitas ekstraktif. Bahkan muncul kritik terhadap instansi yang di anggap membiarkan kegiatan tambang berlangsung terlalu lama sebelum akhirnya di lakukan penindakan.
Aksi demonstrasi kecil hingga petisi daring juga bermunculan, terutama dari komunitas pecinta alam dan mahasiswa. Mereka meminta pemerintah tidak hanya menindak pelaku lapangan. Tetapi juga mengusut aktor-aktor yang terlibat di balik tambang ilegal. Termasuk oknum yang mungkin memfasilitasi jalur distribusi emas hasil tambang. Tekanan publik juga menyoroti pentingnya transparansi dalam proses penindakan dan pemulihan lingkungan. Masyarakat ingin melihat bukti nyata bahwa hukum benar-benar di tegakkan dan lingkungan di pulihkan secara serius untuk kasus Tambang Emas.